Workshop Merancang ULD di Polres Sleman

Workshop Merancang ULD di Polres Sleman.

Kegiatan yang dilakukan tanggal 2 Agustus 2021 merupakan bagian dari Program Advokasi Layanan yang Berperspektif Disabilitas pada Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak dengan dengan Disabilitas. Program ini diselenggarakan dengan dukungan Disability Righs Fund (DRF).

Selain itu, kegiatan ini juga merupakan follow up dari MoU Penanganan Kasus yang pernah ditandatangani CIQAL bersama Polres Sleman. Untuk menindaklanjuti Mou tersebut, dilakukan workshop ini, untuk menginisiasi terbentuknya Unit Layanan Disabilitas (ULD) di Polres Sleman.

Adanya ULD di Polres Sleman ini penting agar layanan terhadap penyandang disabilitas bisa lebih berprespektif disabilitas dan inklusi. Bukan hanya dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan disabilitas, namun juga dalam kasus-kasus penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.

Workshop ini diikuti oleh Polres Sleman ( Unit PPA, SPKT, Polsek Mlati, Polsek Ngaglik, SatBinmas, Polsek Gamping, Rekrim), Dinsos Sleman, Pengadilan Negeri Sleman, Pengadilan Agama Sleman, LBH Tentrem, SAPA, Fatayat NU, Gerkatin, FKDS, Forkomdesi, dan Yayasan Victory Yogyakarta.

Workshop Merancang ULD di Polres Sleman

Workshop ini dilakukan via zoom, dengan 3 sesi. Sesi pertama ada pemaparan dari Nuning Suryatiningsih. Sesi kedua, peserta dibagi dalam 3 kelompok dengan di 3 breakout room yang berbeda untuk melakukan diskusi tentang yang dibutuhkan dalam pembentukan ULD ini. Sesi ketiga adalah pleno, pemaparan dari masing-masing kelompok.

Dari kegiatan ini ada beberapa hal penting yang disampaikan peserta.

Masalah komunikasi ternyata masih menjadi kendala pada saat pemeriksaan di kepolisian. Seperti yang disampaikan peserta dari Iptu Eko dari Polsek Sleman, “Terkait disabilitas tuna rungu, jika jadi korban bagi mereka tidak sekolah kami tidak bisa memberikan pertanyaan, jawaban tidak tahu. Di sini kami kesulitan untuk memeriksa.”

Menurut Dr. Cahyo dari PN Sleman, “Dalam pemeriksaan perlu pendampingan dan layanan. Cuma layanan berdasarkan kearifan local, karena masing-masing di wilayah beda-beda. Di Aceh, di Jawa beda-beda. Yang penting lagi belum memahami antara aparat sendiri dari penyedikan supaya tidak terjadi perbedaan. Ada kesamaan dalam lakukan pemeriksaan sebagai korban atau pelaku. Yang melakuan korban perempuan bisa juga di NTT itu perempuan itu yang jadi pelaku. Dalam layanan ini apa perbedaan-perbedaan itu perempuan sebagai korban tapi disabilitas juga pelaku.”

Lebih lanjut katanya, “Dalam kasus narkoba barang dititipkan orang buta. Dia tidak tahu apa-apa. Hanya iya iya. Dia dimanfaatkan. Ini perlu dilakukankan pendampingan. Itu sebagai korban atau pelaku, tentu harus dibedakan layanan-layanannya. Unit layanan bisa terjadi pembentukan layanan untuk disabilitas harus dibedakan mengikuti jenis disabilitas. Kalau dimasing-masing dijadikan itu sampai ke kejaksaan sampai pengadilan, tidak hanya mendampingi tapi ada pasal-pasal yang khusus tapi sebagai korban perlu disamping adad pendampingan dari masing-masing unit perempun pakai Bahasa isyarat tapi korban pelaku perlu perlindungan. Ada pasal-pasal dibawah perlu karena mempermudah pemeriksaan pembuktiannya. Pengalaman kami aparat penegak hukum mereka memahami tentang keadaan disabilitas apakah itu SLB tidak melakukan macam-macam. Bagaimana apabila kebutuhan bertemu yang sak klek, perlu sekali pembuktiannya. Jika hal itu  terjadi akan slit pembuktian, tindak pidana betul terjadi. Korban disabilitas yang tidak pahami komunikasi.”

Hasil diskusi akan digunakan untuk memperbaiki apa yang selama ini sudah dilakukan dan sudah dilakukan tapi belum optimal. Nantinya akan dirangkum untuk jadi indikator untuk usulan-usulan ke Polres Sleman terkait pembentukan Unit Layanan Disabilitas.

Kegiatan Workshop Merancang ULD di Polres Sleman selengkapnya bisa diakses melalui Youtube.

Translate »